Absensteeisme
-
Robi Maulana - 28 May, 2025
Pendahuluan: Absenteeisme dalam Konteks Psikologi Organisasi
Sepanjang satu abad terakhir, sedikit topik dalam penelitian psikologi industri dan organisasi yang mendapatkan perhatian sebesar perilaku ketidakhadiran karyawan atau yang umumnya dikenal sebagai absenteeisme. Pada dasarnya, absensi karyawan merupakan perilaku yang relatif mudah diamati dan secara operasional didefinisikan sebagai durasi atau frekuensi hari-hari tidak bekerja yang didasarkan pada catatan organisasi atau laporan mandiri (Ruhle & de Reuver, 2024).
Namun, di balik definisinya yang sederhana, fenomena ini mencakup berbagai bentuk dan dipengaruhi oleh faktor-faktor kompleks yang saling terkait, baik dari tingkat individu maupun organisasi. Absenteeisme tidak hanya sekadar ketidakhadiran fisik; hal ini juga memberikan wawasan fundamental mengenai hubungan antara individu dan organisasi, yang sering kali mencerminkan sikap, pengalaman kerja, atau bahkan kondisi kesehatan yang dialami oleh seorang karyawan (Miraglia & Johns, 2021).
Pentingnya memahami absenteeism bagi organisasi sangatlah krusial. Kehadiran atau ketidakhadiran karyawan memiliki konsekuensi signifikan bagi perusahaan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa potensi biaya yang terkait dengan absenteeism dapat mencapai miliaran euro, mencakup biaya langsung seperti upah untuk pekerja yang absen, upah untuk pekerja pengganti, dan kerugian dalam produktivitas (Harrison & Martocchio, 1998). Lebih lanjut, ketidakhadiran seorang karyawan dapat mengganggu alur kerja orang lain, berdampak negatif pada kolega, dan bahkan memengaruhi kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, bagi para praktisi dan peneliti, absenteeism dipandang sebagai salah satu indikator penting dari kesehatan dan efektivitas organisasi.
Dimensi dan Klasifikasi Absenteeisme
Dalam psikologi industri dan organisasi, absenteeisme secara umum dikategorikan sebagai bentuk perilaku penarikan diri sementara (temporary withdrawal behavior) dari organisasi. Literatur perilaku organisasi membedakan berbagai bentuk absensi. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an, Gibson (1966, hlm. 112) mendefinisikannya sebagai ‘ketidakmampuan, ketidakpantasan, atau keengganan untuk bekerja’ (‘inability, inappropriateness, or unwillingness to work’).
-
Ketidakmampuan (Inability): Kategori ini merujuk pada ketidakhadiran yang erat kaitannya dengan kondisi fisik dan mental, yang menyebabkan karyawan tidak dapat bekerja. Hal ini sering kali terkait dengan sakit atau cedera.
-
Ketidakpantasan (Inappropriateness): Kategori ini mencakup situasi di mana ketidakhadiran dianggap sah, seperti keadaan darurat atau meninggalnya anggota keluarga dekat.
-
Keengganan (Unwillingness): Kategori ini merujuk pada ketidakhadiran yang terjadi karena karyawan secara sukarela memilih untuk tidak bekerja, yang sering kali dianggap sebagai perilaku tidak sah (Gibson, 1966).
Klasifikasi lain juga membedakan absensi menjadi kategori seperti ‘tidak terkait sakit yang sah’, ‘terkait sakit yang sah’, ‘absensi tanpa izin’, dan ‘absensi sukarela’ serta ‘absensi tidak sukarela’ (Harrison & Martocchio, 1998). Klasifikasi ini menyoroti perlunya tidak hanya mempertimbangkan apakah absensi tersebut direncanakan atau tidak, tetapi juga menilai legitimasi dari absensi tersebut. Sebagai contoh, absensi yang telah direncanakan untuk liburan kemungkinan lebih dapat diterima dibandingkan dengan absensi yang tidak terduga karena kurangnya motivasi, di mana karyawan dapat dimintai pertanggungjawaban. Atribusi legitimasi ini dapat berbeda antar individu, industri, atau budaya organisasi dan nasional (Ruhle & de Reuver, 2024).
Dengan meningkatnya popularitas kerja jarak jauh (remote work), definisi absenteeism juga telah berevolusi. Ruhle dan Breitsohl (2023, hlm. 974) secara spesifik membedah absensi karena sakit (sickness absenteeism) sebagai ‘perilaku tidak bekerja dalam kondisi kesehatan yang buruk’ dan absensi motivasi (motivational absenteeism) sebagai ‘perilaku tidak bekerja karena kurangnya motivasi’. Perbedaan ini menyoroti bahwa penyebab ketidakhadiran bisa sangat bervariasi dan memerlukan pendekatan yang berbeda dalam mengelolanya.
Faktor-Faktor Pendorong Absenteeisme
Absenteeisme adalah fenomena multi-kausal yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga oleh konteks sosial dan lingkungan di luar pekerjaan. Berbagai penelitian telah mengeksplorasi pendorong-pendorong utama di balik perilaku ini, yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori:
1. Faktor Kesehatan dan Motivasi
Absenteeisme seringkali memiliki komponen motivasi dan terkait kesehatan yang kompleks. Hubungan ini dijelaskan dalam model stres-penyakit-absensi (stress—illness—absence process), yang menyoroti koneksi antara ketegangan kerja yang berulang dan ketidakhadiran (Darr & Johns, 2008). Teori ini menyatakan bahwa stresor kerja dapat memicu reaksi stres yang berkelanjutan dalam sistem saraf otonom, yang pada gilirannya menyebabkan gejala psikosomatik dan akhirnya absensi karena sakit.
Di sisi lain, absensi motivasi, yang diartikan sebagai keputusan sukarela karyawan untuk tidak hadir, dapat terjadi karena beberapa alasan:
-
Pemulihan dari Stres: Karyawan mungkin memilih untuk absen sebagai mekanisme koping atau strategi untuk mengurangi stres, di mana mengambil waktu libur digunakan untuk memulihkan diri dari ketegangan kerja (Hackett & Bycio, 1996).
-
Menghindari Kondisi Kerja yang Buruk: Karyawan yang merasa tidak puas dengan kondisi kerja mereka mungkin menggunakan absensi sebagai cara untuk menghindari lingkungan kerja yang tidak memuaskan (Humphrey, Nahrgang, & Morgeson, 2007).
-
Ketidakseimbangan Pertukaran Sosial: Sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange theory), ketika karyawan merasa diperlakukan tidak adil oleh organisasi, mereka dapat menggunakan absensi untuk mengurangi kontribusi mereka demi memulihkan keseimbangan antara upaya dan imbalan yang diterima (Biron & De Reuver, 2013).
2. Faktor Kontekstual dan Sosial
Penyebab absenteeism tidak terbatas pada individu; konteks sosial juga terbukti sangat berpengaruh. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung lebih sering absen ketika integrasi sosial dan kontrol sosial dalam kelompok kerja mereka rendah (Miraglia & Johns, 2021). Ini menggarisbawahi pentingnya dinamika tim dan budaya kerja dalam memengaruhi kehadiran karyawan.
Selain itu, faktor-faktor di luar pekerjaan juga memainkan peran signifikan. Tanggung jawab di luar pekerjaan, seperti mengurus anak atau lansia, serta konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, juga dapat menjadi pemicu absensi (Miraglia & Johns, 2021).
Konsekuensi dan Implikasi Manajerial
Memahami berbagai perspektif ini memberikan wawasan penting bagi organisasi untuk mengelola absensi karyawan. Organisasi dapat mengatasi aspek kesehatan dan motivasi dari absensi melalui berbagai intervensi:
-
Program Kesejahteraan Karyawan: Program manajemen stres dan program vitalitas dapat membantu menjaga kesehatan mental dan fisik karyawan, sehingga mengurangi kebutuhan untuk absen karena sakit. Hal ini juga dapat mencakup program-program yang berfokus pada keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi.
-
Pemberdayaan Karyawan: Kebijakan, sistem, dan praktik kerja yang berfokus pada komitmen dapat menjadi cara efektif untuk mencegah tingkat absensi yang tinggi. Memberdayakan karyawan dengan memberi mereka otonomi dalam mengelola pekerjaan mereka sendiri, melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, dan menawarkan dukungan dari supervisor serta kondisi kerja yang adil, dapat menciptakan sikap positif terhadap organisasi (Guest, 2002).
-
Identifikasi Dini dan Resolusi Masalah: Penting bagi manajemen untuk mendeteksi dan menyelesaikan kondisi kerja yang merugikan sebelum kondisi tersebut berdampak negatif pada kesejahteraan dan kesehatan karyawan. Dengan demikian, biaya yang terkait dengan absensi dapat dihindari.
Selain itu, penelitian terkini menyoroti bahwa menghindari semua jenis absensi, terutama yang disebabkan oleh sakit, juga dapat menimbulkan masalah. Perilaku presenteeisme (sickness presenteeism), yaitu bekerja meskipun dalam kondisi sakit, dapat membawa risiko tersendiri seperti peningkatan kesalahan, penurunan produktivitas, dan bahkan penularan penyakit di tempat kerja (Ruhle dkk., 2020). Ini menunjukkan bahwa manajemen yang efektif harus menciptakan lingkungan yang mendukung karyawan untuk beristirahat saat sakit, alih-alih merasa tertekan untuk tetap bekerja.
Sebagai kesimpulan, meskipun penelitian telah memberikan wawasan berharga tentang absenteeism, pemahaman yang komprehensif memerlukan pengujian dan analisis yang berkelanjutan. Dunia kerja yang terus berubah, didorong oleh teknologi dan cara kerja baru, terus memengaruhi bagaimana individu berperilaku. Oleh karena itu, bagi peneliti dan praktisi, tantangan yang berkelanjutan adalah untuk terus menggali dan menguji pembentukan serta konsekuensi dari perilaku absensi.
Referensi
Biron, M., & De Reuver, R. (2013). Restoring balance? Status inconsistency, absenteeism, and HRM practices. European Journal of Work and Organizational Psychology, 22(6), 683—696.
Darr, W., & Johns, G. (2008). Work strain, health, and absenteeism: A meta-analysis. Journal of Occupational Health Psychology, 13(4), 293—318.
Guest, D. (2002). Human resource management, corporate performance and employee wellbeing: Building the worker into HRM. Journal of Industrial Relations, 44(3), 335—358.
Hackett, R. D., & Bycio, P. (1996). An evaluation of employee absenteeism as a coping mechanism among hospital nurses. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 69(4), 327—338.
Harrison, D. A., & Martocchio, J. J. (1998). Time for absenteeism: A 20-year review of origins, offshoots, and outcomes. Journal of Management, 24(3), 305—350.
Humphrey, S. E., Nahrgang, J. D., & Morgeson, F. P. (2007). Integrating motivational, social, and contextual work design features: A meta-analytic summary and theoretical extension of the work design literature. Journal of Applied Psychology, 92(5), 1332—1356.
Miraglia, M., & Johns, G. (2021). The social and relational dynamics of absenteeism from work: A multilevel review and integration. Academy of Management Annals, 15(1), 37—67.
Ruhle, S. A., & Breitsohl, H. (2023). Perceived legitimacies of health-related and motivational presenteeism and absenteeism: Development and validation of the Workplace Attendance Behavior Legitimacy Scale. Journal of Organizational Behavior, 44(6), 973—996.
Ruhle, S. A., & de Reuver, R. S. M. (2024). Absence. In P. M. Bal (Ed.), Elgar Encyclopedia of Organizational Psychology. Edward Elgar Publishing.
Ruhle, S. A., dkk. (2020). “To work, or not to work, that is the question”: Recent trends and avenues for research on presenteeism. European Journal of Work and Organizational Psychology, 29(3), 344—363.